Gudeg.net - “Itu jumlah hari Aksi Kamisan (di depan gerbang Istana Merdeka). Jumlahnya akan terus bertambah hingga suatu saat nanti ditemukan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya. Begitupun angka dalam judul karya tersebut, sementara karya ada kemungkinan bertumbuh menyesuaikan jumlah hari aksi tersebut.”
Penjelasan tersebut disampaikan perempuan perupa Laila Tifah tentang karya berjudul “857”. Tujuh gelas berbentuk kotak persegi dengan objek drawing tinta gambar di atas lembaran mika transparan bersama tiga karya series lainnya yakni ‘Janji Manis’, ‘Patah Hati’, dan ‘Melayang’ baru saja dipresentasikan Tifah dalam Pameran Bersama “Baur Wadon” di Jogja Gallery Jalan Pekapalan No. 7 Yogyakarta, 10-25 September 2025.
Ketujuh gelas tersebut didisplay dalam ruangan yang gelap. Dari kejauhan karya ‘857’ sekilas terlihat seperti negatif film (klise) hitam putih yang menyimpan kisah drama-tragedi yang dibekukan. Drama-tragedi dalam drawing hitam-putih di atas plastik mika dalam tembakan lampu persis di atasnya akan hadir begitu pengunjung mengamati dalam jarak yang dekat. Setiap gelas menyajikan cerita yang bisa jadi berdiri sendiri ataupun menjadi satu rangkaian kisah yang tidak terpisahkan.
 857 – tinta gambar di atas mika transparan dalam gelas – 68 x 164 x 13 cm – Laila Tifah – 2024. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
857 – tinta gambar di atas mika transparan dalam gelas – 68 x 164 x 13 cm – Laila Tifah – 2024. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
“Karya ini pernah dipresentasikan di Galeri Nasional (Jakarta) bulan Januari tahun lalu dengan judul ‘818’. Based karyanya sama. Kedepan mungkin akan bertumbuh entah jumlah karya, citraan, ataupun cara penyajiannya. Yang pasti, judul karya akan terus bertambah.” jelas Tifah dalam obrolan ringan dengan Gudeg.net, Selasa (23/9) malam.
Karya ‘857’ dipresentasikan satu ruangan dengan karya series ‘Patah Hati’ berupa 6 lembar drawing pensil di atas kertas masing-masing berukuran 50 cm x 35 cm yang dibuat pada tahun 2025, serta karya tiga matra-instalasi ‘Janji Manis’ dengan objek payung hitam mini dalam medium alluminium dan tanah liat sebanyak 285 buah.
“Ketiga karya tersebut sebenarnya menggambarkan satu rangkaian peristiwa. Semacam drama tragedi kemanusiaan.” imbuh Tifah.
 Melayang #2-8 – cat akrilik di atas kanvas - 6 panil @ 50 x 50 cm – Laila Tifah – 2020. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Melayang #2-8 – cat akrilik di atas kanvas - 6 panil @ 50 x 50 cm – Laila Tifah – 2020. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Tifah menjelaskan ketiga karya tersebut merupakan upaya merespons kembali karya lukisan berjudul ‘Diam Melawan Lupa’ yang dibuat pada tahun 2013, dalam narasi Aksi Kamisan, yaitu suatu gerakan atas penuntasan kasus-kasus HAM berat yang belum terselesaikan sampai saat ini, yang dilakukan setiap hari Kamis di depan Istana Negara.
“Penekanan karya ini ada pada sisi humanismenya. Saya bersimpati pada Bu Sumarsih yang hingga saat ini masih memperjuangkan keadilan bagi anaknya Wawan yang menjadi korban Tragedi Semanggi I. Penantian panjang seorang ibu untuk anaknya yang menjadi korban tragedi kemanusiaan membuat si ibu pada suatu keadaan untuk dapat mentransformasikan patah hati akan rasa dukanya menjadi rasa cinta kasih kepada sesamanya. Penantian panjangnya dalam mendapatkan keadilan bagi anaknya, terus konsisten dilakukan, sementara janji-janji manis terus digantungkan bagai ada harapan.” jelas Tifah.
Sumarsih adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan yang menjadi salah satu korban penembakan saat Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998.
 Teka Teki Tiket (4 panel) – cat minyak di atas kanvas – 200 cm x 160 cm – Laila Tifah – 2010. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Teka Teki Tiket (4 panel) – cat minyak di atas kanvas – 200 cm x 160 cm – Laila Tifah – 2010. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Payung hitam dan ingatan kolektif tentang pelanggaran HAM berat
Aksi Kamisan diprakarsai oleh tiga keluarga korban pelangaran HAM berat, yakni Maria Catarina Sumarsih (orang tua dari Bernardus Realino Norma Irmawan), Suciwati (istri mendiang pegiat HAM, Munir Said Thalib), serta Bedjo Untung (perwakilan dari keluarga korban pembunuhan, pembantaian dan pengurungan tanpa prosedur hukum terhadap orang-orang yang diduga PKI pada tahun 1965-1966) pertama kali digelar pada 18 Januari 2007 dengan tuntutan agar negara menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia, seperti Tragedi Semanggi, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari 1989, dan lain-lain.
Aksi Kamisan diidentikkan dengan penggunaan pakaian serba hitam dan payung hitam sebagai bentuk solidaritas, simbol, dan alat pembingkaian untuk menggambarkan perasaan duka dan perlawanan terhadap pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang belum mendapatkan keadilan.
‘Diam Melawan Lupa’ merupakan karya lukisan yang dibuat Tifah pada tahun 2013 dalam citraan hitam-oranye dengan objek figur-figur perempuan mengenakan pakaian dan payung warna hitam. Karya tersebut pernah dipresentasikan dalam Pameran Nusantara bertajuk “Meta Amuk” di Galeri Nasional pada tahun 2013.
Dari karya ‘Diam Melawan Lupa’ tersebut setahun kemudian Tifah mengembangkan lagi satu karya lukisan berjudul ‘Diam Melawan Lupa #2’ dan dipresentasikan dalam pameran tunggalnya bertajuk “Sri” pada tahun 2021 di Jogja Gallery. Sedikit berbeda dari karya sebelumnya, dalam karya ‘Diam Melawan Lupa #2’ objek-figur dalam lukisan yang mengikuti Aksi Kamisan lebih beragam dan tetap membawa payung hitam.
‘Diam Melawan Lupa #2’ menjadi kritik sosial Tifah pada penuntasan pelanggaran HAM berat di Indonesia yang kerap dianggap tidak memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya. Pada karya tersebut ketika itu Tifah menambahkan sebait puisi : “Hari ini kamis. Berdiri untuk kesekian ratus kali. Di depan gedung putih berpilar. Diamnya kami, menolak lupa”.
Objek-figur perempuan dengan payung-payung hitam akan dengan mudah mengingatkan publik pada Aksi Kamisan dari orangtua-keluarga korban yang menuntut penuntasan Tragedi Semanggi I dan juga pelanggaran lainnya yang tidak pernah selesai hingga hari ini.
Pada karya drawing series ‘Patah Hati’, enam karya drawing di atas kertas 50 x 35 cm meninggalkan goresan-goresan dramatis pada kaki-kaki yang tertinggal tanpa anggota tubuh lainnya yang melayang entah ke mana. Sementara pada karya ‘Janji Manis’, janji-janji itu seolah dihadirkan Tifah dalam deretan angka yang tersusun rapi. Tidak lebih, tanpa pernah ditepati.
 857 (6/7 detail) – tinta gambar di atas mika transparan dalam gelas – Laila Tifah – 2024. (foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
857 (6/7 detail) – tinta gambar di atas mika transparan dalam gelas – Laila Tifah – 2024. (foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Tentang karya drawing sebagai pembacaan realitas dan kritik sosial, ada banyak karya drawing lainnya yang dibuat Tifah menelisik hal tersebut. Pada karya drawing pena di atas kertas berukuran 21 cm x 28 cm berjudul ‘Migran’ yang dibuat tahun 2015 dengan objek-figur perempuan yang tergeleltak di tanah dengan balutan kawat berduri. Sebuah gambaran drama-tragedi nasib tenaga kerja wanita yang hingga saat ini masih kerap mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan baik saat di perantauan maupun saat berada di negeri sendiri.
 Migran – drawing pena di atas kertas – 21 cm x 28 cm – Laila Tifah – 2015. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Migran – drawing pena di atas kertas – 21 cm x 28 cm – Laila Tifah – 2015. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Begitupun dengan nasib buruh migran Indonesia yang kerap terlantar di perantauan saat menghadapi kasus diskriminasi, pelecehan, kekerasan, dalam lukisan berjudul ‘Teka Teki Tiket’. Pada caption-nya Laila Tifah menulis sebait puisi : Antrian menuju negeri orang. Masing-masing dengan tiketnya. Kesuksesan. Penyiksaan. Pemerkosaan. Akankah ada yang yang kembali, jasad?.
Karya ‘Migran’ dan ‘Teka Teki Tiket’ pernah dipresentasikan Tifah di Jogja Gallery pada pameran tunggalnya tahun 2021.
Kembali pada karya ‘857’, ‘Patah Hati’, dan ‘Janji Manis’ yang baru saja dipresentasikan Tifah di Jogja Gallery, pada ketiga karya tersebut Tifah menyertakan sebait puisi
IIII IIII IIII
IIII IIII IIII
IIII IIII IIII
IIII .... 
tidak mengapa
jika harus jalani patah hati ini
menyesapi rasa janji manis
bah!
terasa sepah
ku masih saja
kukuh berdekap menghitung hari
manisnya maya terus kuhisap
nak
IIII IIII IIII
IIII IIII IIII
IIII IIII IIII
IIII .... 
Dalam beberapa kesempatan Tifah kerap pula menyertakan bait-bait puisi ke dalam caption karyanya. Pada satu karya series ‘Melayang’ yang juga dipresentasikan pada Pameran “Baur Wadon” dengan enam karya lukisan masingt-masing berukuran 50 cm x 50 cm sekilas terlihat seperti olah digital karya foto dalam gradasi warna hitam-hijau-kuning muda. Eksperimen menarik berikutnya adalah penggunaan aksen prada emas yeng memberikan kesan lukisan series tersebut seperti karya fotografi ketika dilhat dari jarak tertentu. Dan pada karya series tersebut Tifah menyertakan sebait puisi : kumelayang-layang/petak-petak sri/hijau bersalut emas/sungguh elok/kaya raya pertiwiku.
Hadirnya bait puisi bukanlah respons Tifah atas karya rupanya. Begitupun kehadiran bait puisi tidak semata-mata untuk membangun opini bagi pengunjung pameran ataupun publik luas, namun untuk menguatkan narasi karya yang tersaji sekaligus mengingatkan bahwa kekerasan-pelanggaran HAM oleh negara maupun pihak lain sekalipun masih kerap terjadi sampai saat ini.***


 
						

 
				 
				 
				 
				 
				 
				 
						
Kirim Komentar